kenapa kita lebih senang jadi penonton?bersorak jingkrak
bertepuk angguk menyaksi bola disundul drogba, gubrak
kita menang taruhan, esok pagi kita bisa makan rujak
rujak cingur: congor-congor sapi meliur di sulur nabi, nasib
menjadi ajang taruhan di meja perjamuan, menunggu
peluit berbunyi, mengakhiri sebuah pertandingan
di lapangan, setelah itu?
kita lebih senang jadi penonton, berduyun dalam kerumun
tonton nedhok, sesudah magrib selepas isa' dari rimbun
pohon trembesi dua perempuan menggendong nampan
di perempatan kita menyambut dengan nyanyian anggun
mbok rondho lagi teko, mbok rondho lagi teko, lalu lagu
ilir-ilir membangunkan nedhok nglilir, siap beraksi
memaknai segala rahasia gaib dan segala aib!
siapa namamu, dari mana asalmu, tanya-jawab dibuka
dengan seribu tanya di dada, betul dia jodoh aku?
petunjuk angguk mengangguk atau geleng menggeleng
dipercaya sebagai wisik tuhan, sedang setan menyelinap
di antara jawaban sebab setan memang hanya berteman
dengan setan! lalu, siapakah yang setan?
kita lebih senang jadi penonton, berjingkrak-jingkrak
dengan tawa terbahak, mentertawakan kebodohan mata
yang gagal memasukkan bola, atau mencaci maki
kebiadaban zaman yang tiada beradab, sementara kita?
jangankan menendang bola seperti drogba, bahkan
mengundang setan merasuk ke tubuh nedhok pun
kita tak sanggup, lalu bagaimana bisa menyemayam tuhan
dalam dada kita?
semestinya kita jadi pelakon, bukan penonton
tetapi kita lebih senang jadi penonton
ya, kita lebih senang jadi penonton!
Puja Sutrisna, 20 Mei 2012
Catatan:
Nedhok adalah permainan semacam 'jaelangkung' di kebudayaan Jawa
bedanya dengan jaelangkung adalah kalau jaelangkung menjawab tanya
dengan tulisan sementara nedhok menjawab dengan gerakan tubuh!