O Desember; Secabik Catatan Renyai
masih seperti dulu, puti
desember masih basuh jejak tetapak kaki kita di tanah kelu pebukitan ini
jam-jam yang gagu, desah basah berselimut kabut, kita menangkap geletar
jejarumnya menahan gigil musim, seirama rinai nan tak henti luruh langu
ke ranjang yang sunyi ditinggal pengantin
O aku telah mencatatnya, puti
ya, aku yang beku mengeja kekisah renyai pada bergulung mendung
di sesemburat langit yang muram
masih kosong, hanya dingin sepanjang pematang, sepotong jalan setapak
ah, air kebas nan hinggap di ujung celana lah mengguncang rindu
dan debar segera menghuni dada
kemarilah sayang, kita kan kembali menyusur kenangan
yang lah tertorehkan pada bergulung-gulung awan kelam itu
kita kan lanjutkan perjalanan mencari jejak pelangi di rerimba
jejak hari-hari yang lisut beringsut, menepi dari gegap pertarungan kota
pembantaian nasib demi nasib, membunuh api dari unggun
dan di tepinya orang-orang bersimpuh. O adakah sebagai pemenang!
entah. enyah
lalu lelangkah rasa hambar; oleh simfoni katak cumbui sisa hujan
bekas pecintaan, atau catatan alamat tak lengkap
jejak-jejak rengkah patah digagal waktu
O di puncak bukit batu itu, kita lantas menunggu langit menjelma sepasang
sayap kekupu, lalu sobek jadi celah bagi bebilah cahaya menghujamkan
gairah ke ulu hati
ya, jiwa yang beku oleh hembusan angin muson, pukahlah dalam arah
O desember jendela terbuka sebelah, panorama sunyi mengundang gerimis
kepada lembah-lembah almanak yang menyuburkan lumut rindu
kita rebahkan letih sambil bergenggaman tangan
dan nafas kita kuda tua yang kepayahan menyusuri lelehan embun
“dimana pun kita menemukan unggun hasrat, maka di sanalah
bianglala cinta menegakkan cermin langit, dan berkacalah wajah sederai
pecah, hingga kesumat terbenam ke belantara misteri, sanubari pun
melarut bersama tetesan tirus hujan” O
di gerbang itu kita lantas bercengkrama menebas batas
karena usia hanyalah sebentang halimun tempat memutik tanggalan
sembari membayangkan gemintang
dan engkau lantas berbisik lirih; lum pernah temukan hari sesendu ini,
padahal kau tahu aku di sisi yang lain lah mencatat ngengarai hari meruah
di sepanjang almanakmu
penuh tanggalan nan tak pernah lepas dari kabut air mata, sisa silam
O puti, masih seperti kala itu, desember tetap menyisakan ruang catatan
yang mungkin tak kan pernah bisa tuntas oleh percintaan
kemarilah, tubuh tuaku tak bisa sendiri lalui sepi dan dinginnya
gezah ditabuh magrib nan rapuh, hanya sisa detak jam
mengusung usia berlubang, aih
Kota Tanah Pilih Pseko Betuah, Jambi; 12/11
masih seperti dulu, puti
desember masih basuh jejak tetapak kaki kita di tanah kelu pebukitan ini
jam-jam yang gagu, desah basah berselimut kabut, kita menangkap geletar
jejarumnya menahan gigil musim, seirama rinai nan tak henti luruh langu
ke ranjang yang sunyi ditinggal pengantin
O aku telah mencatatnya, puti
ya, aku yang beku mengeja kekisah renyai pada bergulung mendung
di sesemburat langit yang muram
masih kosong, hanya dingin sepanjang pematang, sepotong jalan setapak
ah, air kebas nan hinggap di ujung celana lah mengguncang rindu
dan debar segera menghuni dada
kemarilah sayang, kita kan kembali menyusur kenangan
yang lah tertorehkan pada bergulung-gulung awan kelam itu
kita kan lanjutkan perjalanan mencari jejak pelangi di rerimba
jejak hari-hari yang lisut beringsut, menepi dari gegap pertarungan kota
pembantaian nasib demi nasib, membunuh api dari unggun
dan di tepinya orang-orang bersimpuh. O adakah sebagai pemenang!
entah. enyah
lalu lelangkah rasa hambar; oleh simfoni katak cumbui sisa hujan
bekas pecintaan, atau catatan alamat tak lengkap
jejak-jejak rengkah patah digagal waktu
O di puncak bukit batu itu, kita lantas menunggu langit menjelma sepasang
sayap kekupu, lalu sobek jadi celah bagi bebilah cahaya menghujamkan
gairah ke ulu hati
ya, jiwa yang beku oleh hembusan angin muson, pukahlah dalam arah
O desember jendela terbuka sebelah, panorama sunyi mengundang gerimis
kepada lembah-lembah almanak yang menyuburkan lumut rindu
kita rebahkan letih sambil bergenggaman tangan
dan nafas kita kuda tua yang kepayahan menyusuri lelehan embun
“dimana pun kita menemukan unggun hasrat, maka di sanalah
bianglala cinta menegakkan cermin langit, dan berkacalah wajah sederai
pecah, hingga kesumat terbenam ke belantara misteri, sanubari pun
melarut bersama tetesan tirus hujan” O
di gerbang itu kita lantas bercengkrama menebas batas
karena usia hanyalah sebentang halimun tempat memutik tanggalan
sembari membayangkan gemintang
dan engkau lantas berbisik lirih; lum pernah temukan hari sesendu ini,
padahal kau tahu aku di sisi yang lain lah mencatat ngengarai hari meruah
di sepanjang almanakmu
penuh tanggalan nan tak pernah lepas dari kabut air mata, sisa silam
O puti, masih seperti kala itu, desember tetap menyisakan ruang catatan
yang mungkin tak kan pernah bisa tuntas oleh percintaan
kemarilah, tubuh tuaku tak bisa sendiri lalui sepi dan dinginnya
gezah ditabuh magrib nan rapuh, hanya sisa detak jam
mengusung usia berlubang, aih
Kota Tanah Pilih Pseko Betuah, Jambi; 12/11