PLAGIAT NURANI
tatapnya menusuk tajam
melukai mata-mata pengobral iba
mengoyak realita tanpa apa-apa
dan luka kembali di iklankan
sebagai sajian puisi terindah
di atas pentas ia meretas tangis
di dalam buku ia merupa Tuhan
di jalan-jalan ia meletupkan segala amarah
membakar cinta anak zaman, katanya
sebab, mata cuma melihat kesempata
dari kesenjangan yang diperdagangkan
pernahkah ia menutup pintu?
mengunci kepolosan dengan caci maki?
ketika banyak mata mengintip lewat jendela
sedangkan tirai-tirai nasib telah membuka aneka cinta
menjajakan segala ketelanjangan beraroma manis
tapi tak ada yang mau bertamu!
bahkan bingkisan air mata sekalipun, sebagai hadiah kejujuran
tak pernah di terimanya
melulu cuma koar prihatin paling egois
aaaaargh... miris!
sementara ia teriris-iris
mereka asik merayu tangis
lalu dimana nurani?
ketika ia merupa simbol keprihatinan
sakali pandang sesak pun meradang
sungguh, ia tak pernah meminta
mata-mata mereka mengulum duka
mengoyak luka penuh dusta
sebab, baginya hidup adalah menikmati
bukan eksploitasi puisi-puisi basi
ia masih menatap tajam
diatas jalan-jalan yang dibanggakan
melarung hidup yang tak di anggap redup
memanjangkan waktu dalam bilangan kasih Tuhan
memendekkan mimpi dalam bentang lelap bumi
pada semangat yang membuatnya semakin kuat
bertahan tak menyerah dengan keadaan
menikmati indahnya kesenjangan
sebagai seorang gelandangan
Ka Tyo
Jakarta, 121211
tatapnya menusuk tajam
melukai mata-mata pengobral iba
mengoyak realita tanpa apa-apa
dan luka kembali di iklankan
sebagai sajian puisi terindah
di atas pentas ia meretas tangis
di dalam buku ia merupa Tuhan
di jalan-jalan ia meletupkan segala amarah
membakar cinta anak zaman, katanya
sebab, mata cuma melihat kesempata
dari kesenjangan yang diperdagangkan
pernahkah ia menutup pintu?
mengunci kepolosan dengan caci maki?
ketika banyak mata mengintip lewat jendela
sedangkan tirai-tirai nasib telah membuka aneka cinta
menjajakan segala ketelanjangan beraroma manis
tapi tak ada yang mau bertamu!
bahkan bingkisan air mata sekalipun, sebagai hadiah kejujuran
tak pernah di terimanya
melulu cuma koar prihatin paling egois
aaaaargh... miris!
sementara ia teriris-iris
mereka asik merayu tangis
lalu dimana nurani?
ketika ia merupa simbol keprihatinan
sakali pandang sesak pun meradang
sungguh, ia tak pernah meminta
mata-mata mereka mengulum duka
mengoyak luka penuh dusta
sebab, baginya hidup adalah menikmati
bukan eksploitasi puisi-puisi basi
ia masih menatap tajam
diatas jalan-jalan yang dibanggakan
melarung hidup yang tak di anggap redup
memanjangkan waktu dalam bilangan kasih Tuhan
memendekkan mimpi dalam bentang lelap bumi
pada semangat yang membuatnya semakin kuat
bertahan tak menyerah dengan keadaan
menikmati indahnya kesenjangan
sebagai seorang gelandangan
Ka Tyo
Jakarta, 121211