lendir-lendir bibir mencibir pandir seperti birahi, batari
durga di hutan setra gandamayit menggigit-gigit mayat, dan
ayat-ayat puisi menjadi seperti panah pasopati, menghunjam
segala, penjuru mata angin mendadak gelap, gulita dada terasa
sesak menyesak ratap pilu runcing kata, menebing bahasa
durga gemerincing, pening menebang tebing tembang
yang tinggal sepenggal puisi giris dan miris di dada!
sang hyang guru, anakmu karno adalah cinta kita, di hutan
setra ingatkah? engkau mengendap-endap di sela pepohonan
merancang baratayuda dengan persenggamaan, sengit dan
cinta tekapar oleh keserakahan, masihkan kau pura-pura
: alpha?
guru, saat pasopati menjadi bukti kemenangan baratayuda
di hutan kuru, maka jangan ragu-ragu! karno adalah darah
kita, perselingkuhan abadi sang hyang guru giri nata, santun
anggun menggemulai bahasa saat siang, dan ketika malam?
nafsu binal durga akan menjadi selalu purnama, itulah kita
: masihkah perlu bertanya?
bibir durga melendir dalam pandir rindu guru, pasopati
menjadi janji dan bukti keabadian sejarah, runcing kata
durga: katakan nafsu tak perlu harus cinta!
pasopati berrpindah kodrat atas wiradat sesat, durga
menepuk dada, sang hyang guru termangu, sesal
menyesal dalam gumpal lakon sepenggal, nafsu
mengubah sejarah menjadi air mata
karena pasopati salah alamat
riwayat tak bisa tamat!
: tamatkan, kawan!
Puja Sutrisna, 01 Mei 2012