Karena Angin Berangan Ingin
karena angin berangan ingin menjadi api, bara membakar
rambut-rambut putih di ubin ubun, memutih puisi tegar tertegun
relief bugil di pelataran candi: jonggrang, mendut, bukankah wujud
ketelanjangan sejarah peradaban? katakan, apa itu nafsu!
jika sejarah airmata gunadarma harus didedah dalam puisi, limbung
kata mengusung bahasa adalah sah tanpa harus resah, bukankah
nabi-wali lahir dari rahim bugil gigil perempuan, dan tuhan
mencipta makhluk dalam ketelanjangan tangan, lalu kenapa
zaman kekinian harus gundah mengisah rambut, sikut,lutut
dan takut?
ini ekspresi anak negeri, proses kreatifitas yang tegas-tuntas
membahasakan kisah dan sejarah apa adanya, tak perlu ditutupi, juga
buat apa harus berpura-pura, bukankah puisi bukan sebuah
kepura-puraan kata?
karena angin berangan ingin api menjadi puisi berdikari
di relung-relung peradaban, segala kata dan bahasa seperti dewa
nyaris tak ada jeda, kata-kata bijak dan bahasa kramat tunggak
karena, bisa jadi mereka lebih ahli membahasakan jiwa
apalagi dalam memilih bahasa serak yang terserak!
sementara lokalisasi kramat tunggak ditutup, biar saja
penyair menghuninya dengan segala kata dan bahasa
yang tersisa, atas nama kebebasan peradaban
atas nama kemajuan zaman! lalu?
untuk apa belajar etika dan moral peradaban, kawan
diksi, kontemplasi, pesan, dan konstruksi hanya menjadi
jeruji, dan puisi tak perlu batasan ruang, selangkangan
biarkan saja tetap terbuka
: agar kita bisa menikmati indahnya!
karena angin berangan ingin, penghuni-penghuni lokalisasi
akan lebih menjadi puisi dalam memilih diksi, bisa jadi
gunadarma lahir kembali dengan air mata berkaca-kaca
: zaman kekinian tak usah bicara moral!
Puja Sutrisna, 12 Mei 2012
karena angin berangan ingin menjadi api, bara membakar
rambut-rambut putih di ubin ubun, memutih puisi tegar tertegun
relief bugil di pelataran candi: jonggrang, mendut, bukankah wujud
ketelanjangan sejarah peradaban? katakan, apa itu nafsu!
jika sejarah airmata gunadarma harus didedah dalam puisi, limbung
kata mengusung bahasa adalah sah tanpa harus resah, bukankah
nabi-wali lahir dari rahim bugil gigil perempuan, dan tuhan
mencipta makhluk dalam ketelanjangan tangan, lalu kenapa
zaman kekinian harus gundah mengisah rambut, sikut,lutut
dan takut?
ini ekspresi anak negeri, proses kreatifitas yang tegas-tuntas
membahasakan kisah dan sejarah apa adanya, tak perlu ditutupi, juga
buat apa harus berpura-pura, bukankah puisi bukan sebuah
kepura-puraan kata?
karena angin berangan ingin api menjadi puisi berdikari
di relung-relung peradaban, segala kata dan bahasa seperti dewa
nyaris tak ada jeda, kata-kata bijak dan bahasa kramat tunggak
karena, bisa jadi mereka lebih ahli membahasakan jiwa
apalagi dalam memilih bahasa serak yang terserak!
sementara lokalisasi kramat tunggak ditutup, biar saja
penyair menghuninya dengan segala kata dan bahasa
yang tersisa, atas nama kebebasan peradaban
atas nama kemajuan zaman! lalu?
untuk apa belajar etika dan moral peradaban, kawan
diksi, kontemplasi, pesan, dan konstruksi hanya menjadi
jeruji, dan puisi tak perlu batasan ruang, selangkangan
biarkan saja tetap terbuka
: agar kita bisa menikmati indahnya!
karena angin berangan ingin, penghuni-penghuni lokalisasi
akan lebih menjadi puisi dalam memilih diksi, bisa jadi
gunadarma lahir kembali dengan air mata berkaca-kaca
: zaman kekinian tak usah bicara moral!
Puja Sutrisna, 12 Mei 2012