Ketawamu, Aku Tahu!
sebelas juni sembilan satu, matahari terpelanting
di sebalik tebing, menghantar turun perempuan anggun
menuruni dusun, menuju terminal batu tempat lugu
menemu nasib berangkat ke langit, jakarta, katanya
semua ada! bakso malang, soto lontong, tutup botol
atau babibu - babu-babu lebih dari seribu batu
di hamparan tanah tumpah darahmu, mengharu
lancip perut buncit, langit membakar ubun-ubun
sebelum matahari turun perlahan, pelan namun
pasti, di sebalik bukit gajahmungkur terpekur doa
bapa-biyung, menyenandung baju-baju kurung
berkerudung mendung: berangkatlah, nduk,
duga-duga digawa, ngati-ati aja nganti keri!
setiap kali musim, juni selalu menjadi kemarau
di dada, air mata menunggu di terminal batu
mengabar debar kepulangan perempuan anggun
tersenyum tak lagi anggun, sandal jepit menjadi
sandal berjungkit. sayak-kebayak berganti celana cekak
pendek sependek cita, tertawa-tawa dalam kaca mata
hitam, menghitam kisahnya menyilaukan peradaban
jawa: zaman kekinian tak perlu lagi bahasa pura-pura
katakan: ini indonesia, dunia global bukan lokal, kawan!
sebelas juni, musim selalu menjadi kemarau
matahari membakar ubun-ubun, membara membakar
hitam kulit-kulit nasib, tetapi tidak sehitam nasibmu
perempuan, ketawamu aku tahu:
tanpa cerita!
tanpa makna!
Puja Sutrisna, 19 Mei 2012
sebelas juni sembilan satu, matahari terpelanting
di sebalik tebing, menghantar turun perempuan anggun
menuruni dusun, menuju terminal batu tempat lugu
menemu nasib berangkat ke langit, jakarta, katanya
semua ada! bakso malang, soto lontong, tutup botol
atau babibu - babu-babu lebih dari seribu batu
di hamparan tanah tumpah darahmu, mengharu
lancip perut buncit, langit membakar ubun-ubun
sebelum matahari turun perlahan, pelan namun
pasti, di sebalik bukit gajahmungkur terpekur doa
bapa-biyung, menyenandung baju-baju kurung
berkerudung mendung: berangkatlah, nduk,
duga-duga digawa, ngati-ati aja nganti keri!
setiap kali musim, juni selalu menjadi kemarau
di dada, air mata menunggu di terminal batu
mengabar debar kepulangan perempuan anggun
tersenyum tak lagi anggun, sandal jepit menjadi
sandal berjungkit. sayak-kebayak berganti celana cekak
pendek sependek cita, tertawa-tawa dalam kaca mata
hitam, menghitam kisahnya menyilaukan peradaban
jawa: zaman kekinian tak perlu lagi bahasa pura-pura
katakan: ini indonesia, dunia global bukan lokal, kawan!
sebelas juni, musim selalu menjadi kemarau
matahari membakar ubun-ubun, membara membakar
hitam kulit-kulit nasib, tetapi tidak sehitam nasibmu
perempuan, ketawamu aku tahu:
tanpa cerita!
tanpa makna!
Puja Sutrisna, 19 Mei 2012