suara suara yang tak dilahirkan
aku pernah menulis puisi di pinggiran bengawan donan. untuk laut,
yang kukira berumah di selatan. seorang nelayan tertawa
dan berkata semua sungai memiliki kekasihnya sendiri. muara hanyalah
tempat singgah bagi perjamuan sesungguhnya, jauh di sebelah sana
maka suratku dan seberkas cinta yang kukemas di dalamnya
akan berjatuhan. dalam hujan, dalam embun. dalam dingin halimun
tanpa aroma garam yang menyembul dari kehangatan lautan, tanpa
gelak tawa dari ingatan yang berlarian antara tiang tiang pelabuhan
lama sebelum dilahirkan, barangkali aku telah patah hati (apa yang
lebih kesepian dari paus yang kehilangan nyanyian?)
di bawah pohon api api kukuburkan kata kata: rindu, dalam berbagai
bahasa yang telah dibuang manusia. anak itu lama berkeliaran. sendiri
menguliti setiap mimpi, telanjang hingga ke tulang. tetapi kau tidak tahu
dalam dirimu duka cita adalah frasa asing. terselip di sela geraham
yang dikatupkan. tembuni yang berlayar dini hari dan buah buah bakau yang
berjatuhan dalam diam, mengapung bersamanya di rawa payau yang suram
: satu untuk disemaikan, satu untuk dikuburkan
konon ada yang berkata kehidupan bermula dari lautan. mungkin
di sana pula tempat orang orang pulang. mereka yang kedinginan
tersingkir dalam kegelapan, terlempar dari semua ingatan
o, apa yang lebih kesepian dari paus yang kehilangan nyanyian?
aku mengejar suara suara dari dalam diriku yang jauh. kenangan rapuh
akan dongeng yang lupa dibisikkan, pelukan yang terlewatkan, nama
yang tak pernah diberikan. barangkali saat aku diciptakan, ia lupa
meletakkan hatinya. agar sebuah suar bisa menyala dan tangisanku
tak tersesat di muara. seorang nelayan yang mencintai rahim kehidupan
: ia menjaringku. memelukku dalam tangannya yang utuh, membisikkan doa doa
bagi semua perjalanan yang tak sempat kulewati. juga kubur, yang tak kupunyai
aku terasing dari cintamu, ibu. lama sebelum bisa membuka mata
dan sebuah puisi mengisi dirinya dengan jeritan paus yang tak bisa kau kenali
eska wahyuni, mei 2012
aku pernah menulis puisi di pinggiran bengawan donan. untuk laut,
yang kukira berumah di selatan. seorang nelayan tertawa
dan berkata semua sungai memiliki kekasihnya sendiri. muara hanyalah
tempat singgah bagi perjamuan sesungguhnya, jauh di sebelah sana
maka suratku dan seberkas cinta yang kukemas di dalamnya
akan berjatuhan. dalam hujan, dalam embun. dalam dingin halimun
tanpa aroma garam yang menyembul dari kehangatan lautan, tanpa
gelak tawa dari ingatan yang berlarian antara tiang tiang pelabuhan
lama sebelum dilahirkan, barangkali aku telah patah hati (apa yang
lebih kesepian dari paus yang kehilangan nyanyian?)
di bawah pohon api api kukuburkan kata kata: rindu, dalam berbagai
bahasa yang telah dibuang manusia. anak itu lama berkeliaran. sendiri
menguliti setiap mimpi, telanjang hingga ke tulang. tetapi kau tidak tahu
dalam dirimu duka cita adalah frasa asing. terselip di sela geraham
yang dikatupkan. tembuni yang berlayar dini hari dan buah buah bakau yang
berjatuhan dalam diam, mengapung bersamanya di rawa payau yang suram
: satu untuk disemaikan, satu untuk dikuburkan
konon ada yang berkata kehidupan bermula dari lautan. mungkin
di sana pula tempat orang orang pulang. mereka yang kedinginan
tersingkir dalam kegelapan, terlempar dari semua ingatan
o, apa yang lebih kesepian dari paus yang kehilangan nyanyian?
aku mengejar suara suara dari dalam diriku yang jauh. kenangan rapuh
akan dongeng yang lupa dibisikkan, pelukan yang terlewatkan, nama
yang tak pernah diberikan. barangkali saat aku diciptakan, ia lupa
meletakkan hatinya. agar sebuah suar bisa menyala dan tangisanku
tak tersesat di muara. seorang nelayan yang mencintai rahim kehidupan
: ia menjaringku. memelukku dalam tangannya yang utuh, membisikkan doa doa
bagi semua perjalanan yang tak sempat kulewati. juga kubur, yang tak kupunyai
aku terasing dari cintamu, ibu. lama sebelum bisa membuka mata
dan sebuah puisi mengisi dirinya dengan jeritan paus yang tak bisa kau kenali
eska wahyuni, mei 2012