Sehabis Mimpi
(duh wong wadon/ ana ngendi anak-anakmu/ mongko
durung bisa mabur/ susuh katon morak-marik/ tan kepenak
ati ingong//)
duhai perempuan, di manakah anak-anak kita? ini lirik tembang
maskumambang berkisah tentang sepasang burung bersarang
di kebun tebu. saat musim tebang datang orang-orang girang
memanen manis tanpa tahu semanis apa rasa gula tebu
di rintih pilu perih di hulu?
ya, amat perih dan sangat perih malah, mengisah gundah
sepasang burung meraung kidung, mencari-cari sarangnya
yang hilang:
sementara anaknya belum bisa terbang!
sementara anaknya belum bisa terbang!
duhai perempuan, di manakah anak-anak kita? tanya jantan
kepada betina, merintih perih dalam langgam slendro loyo
menggenang linang kenang anak-anaknya yang lapar
menggelepar-gelepar di genggam tangan-tangan manusia
makhluk tuhan: atas nama kemanusiaan?
ratap tangis giris miris sepasang burung berkabung
terdengar seperti senandung kidung kinanti
di bawah pohon sidoguri, orang-orang berkejaran
mengejar induk burung laksana mengejar mimpi
yang bakal terjadi. ini burung, burung kicauan
siapa bisa tangkap sebulan bisa liburan!
sontak orang-orang berlarian dalam kacau-balau
ayo ditangkap! ayo dikejar! jaga kanan, kiri setan
ucapkan basmalah biar nasib bisa berubah!
suara parau-serak berserak dalam teriak
: zaman kekinian tak lagi nabi-wali!
anak-anak burung di genggaman mati kelaparan
induk burung melenggang terbang ke relung zaman
seperti tembang maskumambang, mendendang
kesedihan gending slendro menjadi pelog
orang-orang mencatat makna peradaban
dalam tembang-tembang yang kian biadab!
sehabis mimpi bacalah inalilahi!
bacalah inalillahi!
Puja Sutrisna, 11 Mei 2012
(duh wong wadon/ ana ngendi anak-anakmu/ mongko
durung bisa mabur/ susuh katon morak-marik/ tan kepenak
ati ingong//)
duhai perempuan, di manakah anak-anak kita? ini lirik tembang
maskumambang berkisah tentang sepasang burung bersarang
di kebun tebu. saat musim tebang datang orang-orang girang
memanen manis tanpa tahu semanis apa rasa gula tebu
di rintih pilu perih di hulu?
ya, amat perih dan sangat perih malah, mengisah gundah
sepasang burung meraung kidung, mencari-cari sarangnya
yang hilang:
sementara anaknya belum bisa terbang!
sementara anaknya belum bisa terbang!
duhai perempuan, di manakah anak-anak kita? tanya jantan
kepada betina, merintih perih dalam langgam slendro loyo
menggenang linang kenang anak-anaknya yang lapar
menggelepar-gelepar di genggam tangan-tangan manusia
makhluk tuhan: atas nama kemanusiaan?
ratap tangis giris miris sepasang burung berkabung
terdengar seperti senandung kidung kinanti
di bawah pohon sidoguri, orang-orang berkejaran
mengejar induk burung laksana mengejar mimpi
yang bakal terjadi. ini burung, burung kicauan
siapa bisa tangkap sebulan bisa liburan!
sontak orang-orang berlarian dalam kacau-balau
ayo ditangkap! ayo dikejar! jaga kanan, kiri setan
ucapkan basmalah biar nasib bisa berubah!
suara parau-serak berserak dalam teriak
: zaman kekinian tak lagi nabi-wali!
anak-anak burung di genggaman mati kelaparan
induk burung melenggang terbang ke relung zaman
seperti tembang maskumambang, mendendang
kesedihan gending slendro menjadi pelog
orang-orang mencatat makna peradaban
dalam tembang-tembang yang kian biadab!
sehabis mimpi bacalah inalilahi!
bacalah inalillahi!
Puja Sutrisna, 11 Mei 2012