Puisi Budhi Setyawan
menyusur garis waktu di ruas masai sejarah
adalah ritual sengit menerjemahkan pelarian nasib nasib yang gigil
dikuruskan kedunguan
wajah wajah yang karam oleh kilau bayang lampu kristal
bergiat mendaki
dengan bebal yang kian pejal
terengah terseok
berkeringat jerit dan air mata
apakah lautmu masih lautmu
penghuni indahnya kemana
sedang kau hanya kebagian sajian badai dan gelombang murka
apakah bumimu masih bumimu
jika pilar kokohmu lari kemana
dan kau telah bangga mendapat sekerak sisanya
apakah sungaimu masih sungaimu
jika penuh dengan sampah dusta percakapan
potret bencana sebagian tersimpan di sana
apakah udaramu masih udaramu
jika hanya kepengapan harap yang bisa terhirup
berikut duri yang menancap nafas
apakah cahayamu masih cahayamu
jika hanya samar samar tak mampu terangi
kian melimpah dada penghuni berubah kelam
menyusur garis waktu di ruas masai sejarah
adalah ritual sengit menerjemahkan pelarian nasib nasib yang gigil
dikuruskan kedunguan
wajah wajah yang karam oleh kilau bayang lampu kristal
bergiat mendaki
dengan bebal yang kian pejal
terengah terseok
berkeringat jerit dan air mata
apakah lautmu masih lautmu
penghuni indahnya kemana
sedang kau hanya kebagian sajian badai dan gelombang murka
apakah bumimu masih bumimu
jika pilar kokohmu lari kemana
dan kau telah bangga mendapat sekerak sisanya
apakah sungaimu masih sungaimu
jika penuh dengan sampah dusta percakapan
potret bencana sebagian tersimpan di sana
apakah udaramu masih udaramu
jika hanya kepengapan harap yang bisa terhirup
berikut duri yang menancap nafas
apakah cahayamu masih cahayamu
jika hanya samar samar tak mampu terangi
kian melimpah dada penghuni berubah kelam