***
bagaimana mampu kutahan airmata ini saat kaki melangkah pergi, sudah tak terhitung lagi lembaran waktu yang telah kubuka, entah berapa jumlah catatan yang kukais jadi lukisan, dan berapa jejak kaki memahat jengkal demi jengkal tanah merupa takdir
mana mungkin aku pergi tanpa kesedihan, bila lebih banyak lorong kegelapan kusetubuhi, jalan-jalan kelam kucumbui, dan noktah-noktah hitam kuukir merupa hati
berdiriku belum tegak laksan huruf alif, kubiarkan sudut sembilanpuluh, keningku masih jauh dari tatapan bumi, acapkali terlupa mengecup cadar keabadian,
lihatlah, bagaian serpihan jiwa ini berserakan, tercecer di belukar jalan yang pernah ditapaki, merintih dalam keperihan, meratap dalam kepedihan
maafkan selir jiwa, belahan hati telah menunggu, kapal telah bersandar di dermaga, menanti dan mengajakku untuk berlayar menuju negeri kedamaian
tak ada yang bisa kubawa sebagai bekal, karena suara tak membawa lidah dan bibir yang telah memberinya sayap untuk menemukan ruangnya, burung camar tetap terbang berkabar, meski tak membawa sangkar
hanya cinta penjaga jiwa, rasa rindu yang membuat dahaga, menemani sepi hati sunyi rasa, menanti kekasih bersua
(KS,012012)
bagaimana mampu kutahan airmata ini saat kaki melangkah pergi, sudah tak terhitung lagi lembaran waktu yang telah kubuka, entah berapa jumlah catatan yang kukais jadi lukisan, dan berapa jejak kaki memahat jengkal demi jengkal tanah merupa takdir
mana mungkin aku pergi tanpa kesedihan, bila lebih banyak lorong kegelapan kusetubuhi, jalan-jalan kelam kucumbui, dan noktah-noktah hitam kuukir merupa hati
berdiriku belum tegak laksan huruf alif, kubiarkan sudut sembilanpuluh, keningku masih jauh dari tatapan bumi, acapkali terlupa mengecup cadar keabadian,
lihatlah, bagaian serpihan jiwa ini berserakan, tercecer di belukar jalan yang pernah ditapaki, merintih dalam keperihan, meratap dalam kepedihan
maafkan selir jiwa, belahan hati telah menunggu, kapal telah bersandar di dermaga, menanti dan mengajakku untuk berlayar menuju negeri kedamaian
tak ada yang bisa kubawa sebagai bekal, karena suara tak membawa lidah dan bibir yang telah memberinya sayap untuk menemukan ruangnya, burung camar tetap terbang berkabar, meski tak membawa sangkar
hanya cinta penjaga jiwa, rasa rindu yang membuat dahaga, menemani sepi hati sunyi rasa, menanti kekasih bersua
(KS,012012)