Ladang tempat kita menyulam sayang, habis dilahap kerakusan, buih putih dendam mengisi obor bara curiga, membakar merendam karam kisah tikam-menikam, rasaku tercincang busuk rencana indah usang kau rancang, soal nurani tak sudi kutanya lagi, hal-ihwal rahasia purnama sudah rampung kucatat rumusnya, gerhana matahari itu menjadi janji, saat kekerasan menutupi cahaya iman nan suci, kita beragama dan tahu siapa masing-masing Tuhan kita.
Jangan menjaga diri supaya tak ada yang tersinggung, sudah kepalang tanggung nyawa-nyawa menggantung di ujung penaku, resapi sesal lalu titipkan pada kapal, mengarungi samudera bukan hal biasa, nahkoda bukan titipan malaikat pencabut nyawa, apa lagi awak kapal, itu anggota tubuh sendiri.
Selang-seling malaikat mondar-mandir; tetap di negeri ini, cabut masal ruh nan kekal, penghuni istana Negara hanya turut berbela sungkawa mengundang wartawan menitip pesan lalu memberi uang usap air mata, atau kalau tidak, mereka memesan bunga sebagai tanda turut berduka cita namun tidak beserta cinta-Nya.
Aku tak benci juga memaki, sepotong baju telah kusilipkan sebuah surat di sakunya, lalu terbang ke daerah bencana, terlalu picik jika menghardik, ini bukan soal sumbangan mahal, bukan pula amal-amal yang kupintal dengan benang emas kental, atau kapal tak bernahkoda nyaris karam di samudera.
Ini soal nurani yang minggat dijerat kawat kuat berduri, ini tentang mimpi buaian anak pertiwi yang mati disayat tajam janji belati.
Azie Nasrullah
110112
Bandung