madah bagi diriku
aku tak punya rumah. bagi diri yang terbelah belah
bagi tubuh yang menggelandang dan telanjang, tak lebih lengang
dari sebuah cangkang. dan riwayat beribu ribu liang
kau tak mengenalku. yang kau lihat hanya sangkar kosong
kumal dan pucat. burung burungnya lepas. merantas tabas
segala batas, segala ikat yang kau sekap rapat. suara suara gelap
yang tak lagi kau ingat atau kenali. dan aku memandang
orang asing berupa. beraga. bersuara ku. tetapi ia bukan aku
atau suaraku. atau tubuhku. bahkan kau pun bukan
hanya selongsong yang digeret dan dirajang jadi ribuan serpih
benang layang layang: bergentayang dan menggelandang
aku tak dimiliki. waktu, kurungan yang mengerangkengmu!
kepedihan yang tak bisa kau tanggalkan. padaku, ia hanya remah
serasah yang lalu bersama lahirku, semua yang menyublim
di mataku. di duniaku, yang berdaya adalah bahasaku sendiri
kau tahu, yang tak lagi kau mengerti. nyanyian pincang
pujian bagi jiwa jiwa paripurna: tawa yang tak terjamah luka
mimpi yang berpawai dan sorak sorai. o, kekallah. senantiasa
jeritanku tersesat dalam diriku, dalam laguku sendiri. binatang
liar yang terjatuh di pejagalan ini
dan aku menghela kepompong yang telah kopong
baju usang yang menahanku pada grafitasi bumi
penderitaanku hanyalah ketidakpedulian cangkang ini
atas kebahagiaanku, yang serupa benalu. kau pun tertawa, lupa
kesengsaraanmu, ketidakmampuan tubuh menampung lenguh
hasrat yang muncrat menjadikanmu bagai menadah kiamat
betapa kejam! dunia mengerut dalam sebiji jeruk. yang kau peluk
dan begitu kau sayang. di tanganmu menggelincir bagai butir pasir
terjungkir di tabungnya. hanya sekeping zarah, wadah yang pecah belah
“wahai jasad, sarang berkarat yang menua dan bertakdir binasa!”
yang begitu kau cinta. di dalamnya kita meronta. saling tendang
saling lahap. sekerat demi sekerat. merapat kian ke kebinasaan
“oh, andai waktu berarti selamanya!” jeritmu lalu
jadi katakan padaku, katakanlah. siapa yang lebih bahagia
: kesengsaraanku atau penderitaanmu?
eska, april 2013
aku tak punya rumah. bagi diri yang terbelah belah
bagi tubuh yang menggelandang dan telanjang, tak lebih lengang
dari sebuah cangkang. dan riwayat beribu ribu liang
kau tak mengenalku. yang kau lihat hanya sangkar kosong
kumal dan pucat. burung burungnya lepas. merantas tabas
segala batas, segala ikat yang kau sekap rapat. suara suara gelap
yang tak lagi kau ingat atau kenali. dan aku memandang
orang asing berupa. beraga. bersuara ku. tetapi ia bukan aku
atau suaraku. atau tubuhku. bahkan kau pun bukan
hanya selongsong yang digeret dan dirajang jadi ribuan serpih
benang layang layang: bergentayang dan menggelandang
aku tak dimiliki. waktu, kurungan yang mengerangkengmu!
kepedihan yang tak bisa kau tanggalkan. padaku, ia hanya remah
serasah yang lalu bersama lahirku, semua yang menyublim
di mataku. di duniaku, yang berdaya adalah bahasaku sendiri
kau tahu, yang tak lagi kau mengerti. nyanyian pincang
pujian bagi jiwa jiwa paripurna: tawa yang tak terjamah luka
mimpi yang berpawai dan sorak sorai. o, kekallah. senantiasa
jeritanku tersesat dalam diriku, dalam laguku sendiri. binatang
liar yang terjatuh di pejagalan ini
dan aku menghela kepompong yang telah kopong
baju usang yang menahanku pada grafitasi bumi
penderitaanku hanyalah ketidakpedulian cangkang ini
atas kebahagiaanku, yang serupa benalu. kau pun tertawa, lupa
kesengsaraanmu, ketidakmampuan tubuh menampung lenguh
hasrat yang muncrat menjadikanmu bagai menadah kiamat
betapa kejam! dunia mengerut dalam sebiji jeruk. yang kau peluk
dan begitu kau sayang. di tanganmu menggelincir bagai butir pasir
terjungkir di tabungnya. hanya sekeping zarah, wadah yang pecah belah
“wahai jasad, sarang berkarat yang menua dan bertakdir binasa!”
yang begitu kau cinta. di dalamnya kita meronta. saling tendang
saling lahap. sekerat demi sekerat. merapat kian ke kebinasaan
“oh, andai waktu berarti selamanya!” jeritmu lalu
jadi katakan padaku, katakanlah. siapa yang lebih bahagia
: kesengsaraanku atau penderitaanmu?
eska, april 2013