Oleh Muhammad Ibrahim Ilyas
1.
tak akan kemuraman membiak di ladangmu, walau senja selesai dan malam menderai dinihari. kunang-kunang bergegas dan sekawanan angsa meliar mimpi membias. langit menggaris sunyi dan aku berhenti padamu.
2.
padang terbuka dan kaki-kaki berlari dalam kemurkaan. musim menundukkan kepala, jaka tarub membarakan kurunmu. langkah-langkah yang terhenti di persimpangan mengirimkan debu beku pada salju. dalam jejak-jejak kecil anakku anakmu, keriuhan mendadakkan penyeberangan, kerumunan menuliskan amarah dan doa, keniscayaan mendermaga pada jalan layang dan mall. siapa penulis sejarah yang menghapus puisi pada peta masa lalu?
3.
gerimis menulis tangis, bukit dan lembah meniriskan mimpi, sepasang nyala menuai air matamu. musim masih menyimpan traktat yang sama, malam dan dinihari yang memikul kerandaku.
langit menggaris baris jejak dan hujan memuntahkan keakanan. aksara dan kata menggenang halaman, kalimat dan alinea tumbuh berbisa, kau dan aku memercik membercak pataka.
4.
sejauh takwim meluncur, entah musim gugur entah musim dingin, lahat tanpa dasar, beku tak menadir. anakku anakmu berdiri di sebuah negeri nyeri, mengarsip bengkalai lalai dan menyusun catatan sisa petaka dan bakal bencana. sepanjang padang membentang, kelambu langit abu-abu, siang dan malam nirmakna.
5.
anakku anakmu mengurung murung. luka tak berjenjang naik tanpa tangga turun memetakan kurun keakanan. ikrar menggumpal tanah, kau dan aku membujuk bangau terbang tinggi agar tak ingkar pada kubangan kembali. ranah persumpahan menanggung mendung, janji tinggal sunyi dalam ranji.
6.
jejaklah detak jantung waktu, api menanti sandi, sekam menimbun jerami, pematang menyimpang padang. rahim tanah mengering, musim tanam menuai hama, anak negeriku beribu petaka. kau dan aku terpatri, pemakaman sudah ditandai, senyap melukai ilusi.
7.
sudah tiga cangkir, itu sudah lebih dari cukup, katamu. sampan, biduk atau perahu: sungai, danau atau samudra yang dilayarinya, apa peduli dermaga? aku mau cangkir ke empat, ke tujuh untuk merayakan demamku. kopi tak sesuai, dan kau menangis, lagi. para pelaut itu tak peduli.
8.
berhentilah menulis atau bicara tentang tipuan hawa atau ketakberdayaan adam, gumammu. kau membersit hidung, entah flu entah kepedasan entah sisa airmata. senja menguap mengembun malam, menyulam kunang-kunang di rambutmu. kita tak pernah tak sendirian, langit menyulam bau muram di ruang dalam dan menggenang di halaman.
9.
pamit tak merajut kenangan jadi sejarah. singkirkan kapal, perahu, sampan dan bidukmu. aku perlu rakit saja. bila tak pohon kelapa, batang pisang pun tak apa. tak usah dermaga, biar tak ada upacara. jangan kompas dan peta, cukuplah bagiku samudra. pada penanggalan sama, kau dan aku menyusutkan purnama.
281111 - 211211
1.
tak akan kemuraman membiak di ladangmu, walau senja selesai dan malam menderai dinihari. kunang-kunang bergegas dan sekawanan angsa meliar mimpi membias. langit menggaris sunyi dan aku berhenti padamu.
2.
padang terbuka dan kaki-kaki berlari dalam kemurkaan. musim menundukkan kepala, jaka tarub membarakan kurunmu. langkah-langkah yang terhenti di persimpangan mengirimkan debu beku pada salju. dalam jejak-jejak kecil anakku anakmu, keriuhan mendadakkan penyeberangan, kerumunan menuliskan amarah dan doa, keniscayaan mendermaga pada jalan layang dan mall. siapa penulis sejarah yang menghapus puisi pada peta masa lalu?
3.
gerimis menulis tangis, bukit dan lembah meniriskan mimpi, sepasang nyala menuai air matamu. musim masih menyimpan traktat yang sama, malam dan dinihari yang memikul kerandaku.
langit menggaris baris jejak dan hujan memuntahkan keakanan. aksara dan kata menggenang halaman, kalimat dan alinea tumbuh berbisa, kau dan aku memercik membercak pataka.
4.
sejauh takwim meluncur, entah musim gugur entah musim dingin, lahat tanpa dasar, beku tak menadir. anakku anakmu berdiri di sebuah negeri nyeri, mengarsip bengkalai lalai dan menyusun catatan sisa petaka dan bakal bencana. sepanjang padang membentang, kelambu langit abu-abu, siang dan malam nirmakna.
5.
anakku anakmu mengurung murung. luka tak berjenjang naik tanpa tangga turun memetakan kurun keakanan. ikrar menggumpal tanah, kau dan aku membujuk bangau terbang tinggi agar tak ingkar pada kubangan kembali. ranah persumpahan menanggung mendung, janji tinggal sunyi dalam ranji.
6.
jejaklah detak jantung waktu, api menanti sandi, sekam menimbun jerami, pematang menyimpang padang. rahim tanah mengering, musim tanam menuai hama, anak negeriku beribu petaka. kau dan aku terpatri, pemakaman sudah ditandai, senyap melukai ilusi.
7.
sudah tiga cangkir, itu sudah lebih dari cukup, katamu. sampan, biduk atau perahu: sungai, danau atau samudra yang dilayarinya, apa peduli dermaga? aku mau cangkir ke empat, ke tujuh untuk merayakan demamku. kopi tak sesuai, dan kau menangis, lagi. para pelaut itu tak peduli.
8.
berhentilah menulis atau bicara tentang tipuan hawa atau ketakberdayaan adam, gumammu. kau membersit hidung, entah flu entah kepedasan entah sisa airmata. senja menguap mengembun malam, menyulam kunang-kunang di rambutmu. kita tak pernah tak sendirian, langit menyulam bau muram di ruang dalam dan menggenang di halaman.
9.
pamit tak merajut kenangan jadi sejarah. singkirkan kapal, perahu, sampan dan bidukmu. aku perlu rakit saja. bila tak pohon kelapa, batang pisang pun tak apa. tak usah dermaga, biar tak ada upacara. jangan kompas dan peta, cukuplah bagiku samudra. pada penanggalan sama, kau dan aku menyusutkan purnama.
281111 - 211211