JAKARTA DI AMBANG SENJA
hanya senja yang merisalahkan sebuah epilog hati
ketika petang mengunci pagi pada olok-olok sang waktu
menohok awan yang coba memayungi gelap bumi
dimana embun merimbun di jalan-jalan tambun
hujan melarikan mentari di tubuh-tubuh lena
merambati angkuh jiwa hingga membanjiri semesta
terang pun berang menandai riang petang
gelap tersamari terik yang menyengat tangis
derap-derap kaki tertawa dari kemaluannya
menginjak-injak nasib yang masih becek di kepala jelata
mencuri jatah lapar mereka untuk mengenyangkan pakaiannya
sebagai menu santap siang penuh tawa canda
ha ha ha ha
inikah katamu realita absurd ?
pagi pun telah biasa melupa pada nyanyian burung-burung gagak
pada bunga-bunga yang menjahui kupu-kupu
pada taman-taman yang datang pergi bersama musim
dimana damai sepi dan wangi bumi tak lagi ternikmati
semua lenyap dan lesap di jiwa anak-anak Tuhan
ketika sang angkara merampas petang yang riang dari jantungnya
dimana aku ?
kemana kamu ?
mengapa Tuhan ?
tak pernah ada yang berubah !
setiap nafas berhembus,
adalah denyut nadi yang hilang di dada malam
orang-orang berlari mengejar mimpi
orang-orang berjalan mengumbar keji
orang-orang merangkak membiak sesak
ketika lapar menjadi alasan yang di perjuangkan
tak ada yang pernah peduli !
setiap pagi, mentari menanak bangkai-bangkai kehidupan
setiap petang, cinta menghidangkan menu pelajaran kematian
di kepala para jelata mengkebiri laparnya
di kepala para durjana menzalimi nuraninya
lalu tirani merdeka di atas jalan-jalan Ibukota
kenyangkah kau, hei cucu adam ?
dan Jakarta telah sampai di ambang senja
tak ada riang erami cinta
tak ada pelangi lahirkan keadilan
segala apa yang tampak menjadi biasa
orang-orang pergi menjemput fana
orang-orang pulang menuju malam
memerdekakan hati nurani
dalam mimpi-mimpi yang paling basi
Jakarta, 300412
hanya senja yang merisalahkan sebuah epilog hati
ketika petang mengunci pagi pada olok-olok sang waktu
menohok awan yang coba memayungi gelap bumi
dimana embun merimbun di jalan-jalan tambun
hujan melarikan mentari di tubuh-tubuh lena
merambati angkuh jiwa hingga membanjiri semesta
terang pun berang menandai riang petang
gelap tersamari terik yang menyengat tangis
derap-derap kaki tertawa dari kemaluannya
menginjak-injak nasib yang masih becek di kepala jelata
mencuri jatah lapar mereka untuk mengenyangkan pakaiannya
sebagai menu santap siang penuh tawa canda
ha ha ha ha
inikah katamu realita absurd ?
pagi pun telah biasa melupa pada nyanyian burung-burung gagak
pada bunga-bunga yang menjahui kupu-kupu
pada taman-taman yang datang pergi bersama musim
dimana damai sepi dan wangi bumi tak lagi ternikmati
semua lenyap dan lesap di jiwa anak-anak Tuhan
ketika sang angkara merampas petang yang riang dari jantungnya
dimana aku ?
kemana kamu ?
mengapa Tuhan ?
tak pernah ada yang berubah !
setiap nafas berhembus,
adalah denyut nadi yang hilang di dada malam
orang-orang berlari mengejar mimpi
orang-orang berjalan mengumbar keji
orang-orang merangkak membiak sesak
ketika lapar menjadi alasan yang di perjuangkan
tak ada yang pernah peduli !
setiap pagi, mentari menanak bangkai-bangkai kehidupan
setiap petang, cinta menghidangkan menu pelajaran kematian
di kepala para jelata mengkebiri laparnya
di kepala para durjana menzalimi nuraninya
lalu tirani merdeka di atas jalan-jalan Ibukota
kenyangkah kau, hei cucu adam ?
dan Jakarta telah sampai di ambang senja
tak ada riang erami cinta
tak ada pelangi lahirkan keadilan
segala apa yang tampak menjadi biasa
orang-orang pergi menjemput fana
orang-orang pulang menuju malam
memerdekakan hati nurani
dalam mimpi-mimpi yang paling basi
Jakarta, 300412