Turunlah, dengarkan dengan hati
Hidup hanya sejumput harapan
Tak terkejar meski berkejar-kejaran
Di lintasan sang matahari
Di lingkar bumi
Hingga jemput malam; jemput ajal
Sekarat melesak dada-dada menghuni rumah akhir
Arwah-arwah bersijingkat di peti-peti
Menanti tubuh masuk lahat
Disetumpuk
Disejajar belulang di semak; di ilalang
Dan jalan yang menyempit ruang gerak
Pada tepi sawah; banyak berubah dan dirubah
Telah sarat menampung tidur yang basah
Menyibak debu yang membelenggu
Apa yang dapat kita rubah takkan pernah dapat berubah :
Manakala
Suara-suara yang terpasung
Suara-suara yang bergelimpangan; bertumbangan
Kekeruhan apa lagi yang tidak bisa dibasuh
Karena sungai telah amis campur darah dan nanah
Duh, Ning Diwata
Merusuh masuk berdesakan raga yang resah
Ingin masuk lebih cepat
Karena mimpi telah renta
Segenap hati membuta
Mata mencincang hutan rimba
Tangan mencabik tanah ulayat
Kaki-kaki penguasa melumat tubuh-tubuh rakyat
Kita hanya peminta-minta yang kian melarat
Padahal hidup hanya sejumput harapan yang tertinggal
Kutinggalkan seberkas surat wasiat ini
Kulemparkan dengan mata tertutup
Karena eksekusi atas hati nurani sudah dekat
Sedekat putih dan hitam mata
Sedekat perhatianku pada kesengsaraan
Kesengsaraan pula yang mengetuk pintu
Ketukan demi ketukan hanya dapati pagar betis menyalak bengis
Begitulah kebengisan telah mengurat nadi
Sukar mengenali pemilik rumah yang beribu-ribu
Tak satupun yang aku kenali; selagi kemarin mereka umbar janji
Turunlah; dengarkan suara lapar tidak lagi datang dari pengemis
Dari jalan-jalan tol hingga pinggir sungai yang tersumbat sampah
Dari hitam comberan menjadi sungai kepedihan
Dari legam kekuasaan adalah sungai dengan ucapan belasungkawa
Turunlah; kita apungkan kebodohan di lautan hingga diseret gelombang
Gelombang negeri yang semakin ngeri menghanyutkan janji-janji
Tak terkira badainya akan meratakan gedung-gedung bermilyaran
Mengkalkulasi benih-benih sawah dan benda-benda rongsok yang dibeli
Turunlah, kita tulis surat wasiat bersama-sama
Jangan cuci tangan sebelum kenyang
Sedang kenyang itu telah menyinggung perasaan kami
Yang mengusung lapar dengan berjuta peti mati
Turunlah, sesuap demi sesuap ibu Pertiwi dalam nasihatnya; karena
Begitu indah kebesamaan yang kita sebut gotong royong
Mengapa pesan itu telah melenceng dan dikaburkan
Mengapa keangkuhan menjadi kokoh; sedang kaki kita tetap telanjang
Ah, dengan suara lemah aku memohon : Turunlah ...
Kita susuri kembali napak tilas yang akan menghidupkan lagi jiwa nusa dan bangsa
Batulicin, 31 Januari 2012
Rumah Pasir 40
Jam 21.25 WIT
Bengkel Puisi Swadaya Mandiri
Hidup hanya sejumput harapan
Tak terkejar meski berkejar-kejaran
Di lintasan sang matahari
Di lingkar bumi
Hingga jemput malam; jemput ajal
Sekarat melesak dada-dada menghuni rumah akhir
Arwah-arwah bersijingkat di peti-peti
Menanti tubuh masuk lahat
Disetumpuk
Disejajar belulang di semak; di ilalang
Dan jalan yang menyempit ruang gerak
Pada tepi sawah; banyak berubah dan dirubah
Telah sarat menampung tidur yang basah
Menyibak debu yang membelenggu
Apa yang dapat kita rubah takkan pernah dapat berubah :
Manakala
Suara-suara yang terpasung
Suara-suara yang bergelimpangan; bertumbangan
Kekeruhan apa lagi yang tidak bisa dibasuh
Karena sungai telah amis campur darah dan nanah
Duh, Ning Diwata
Merusuh masuk berdesakan raga yang resah
Ingin masuk lebih cepat
Karena mimpi telah renta
Segenap hati membuta
Mata mencincang hutan rimba
Tangan mencabik tanah ulayat
Kaki-kaki penguasa melumat tubuh-tubuh rakyat
Kita hanya peminta-minta yang kian melarat
Padahal hidup hanya sejumput harapan yang tertinggal
Kutinggalkan seberkas surat wasiat ini
Kulemparkan dengan mata tertutup
Karena eksekusi atas hati nurani sudah dekat
Sedekat putih dan hitam mata
Sedekat perhatianku pada kesengsaraan
Kesengsaraan pula yang mengetuk pintu
Ketukan demi ketukan hanya dapati pagar betis menyalak bengis
Begitulah kebengisan telah mengurat nadi
Sukar mengenali pemilik rumah yang beribu-ribu
Tak satupun yang aku kenali; selagi kemarin mereka umbar janji
Turunlah; dengarkan suara lapar tidak lagi datang dari pengemis
Dari jalan-jalan tol hingga pinggir sungai yang tersumbat sampah
Dari hitam comberan menjadi sungai kepedihan
Dari legam kekuasaan adalah sungai dengan ucapan belasungkawa
Turunlah; kita apungkan kebodohan di lautan hingga diseret gelombang
Gelombang negeri yang semakin ngeri menghanyutkan janji-janji
Tak terkira badainya akan meratakan gedung-gedung bermilyaran
Mengkalkulasi benih-benih sawah dan benda-benda rongsok yang dibeli
Turunlah, kita tulis surat wasiat bersama-sama
Jangan cuci tangan sebelum kenyang
Sedang kenyang itu telah menyinggung perasaan kami
Yang mengusung lapar dengan berjuta peti mati
Turunlah, sesuap demi sesuap ibu Pertiwi dalam nasihatnya; karena
Begitu indah kebesamaan yang kita sebut gotong royong
Mengapa pesan itu telah melenceng dan dikaburkan
Mengapa keangkuhan menjadi kokoh; sedang kaki kita tetap telanjang
Ah, dengan suara lemah aku memohon : Turunlah ...
Kita susuri kembali napak tilas yang akan menghidupkan lagi jiwa nusa dan bangsa
Batulicin, 31 Januari 2012
Rumah Pasir 40
Jam 21.25 WIT
Bengkel Puisi Swadaya Mandiri