TIDAK UNTUK
Memandangnya seperti pelita,
di antara gigir tualang dan aubade yang jauh
Masa lalu itu, romansa itu,
yang terhempas dan terrenggut
sedangkan peluk tak pernah sampai badan sendiri
Langkah kaki tak mengerti
tubuh ringkih tak kehendak selain tanah
Begitulah hidup menawarkan nasib liar
seperti arak bagi pemabuk
rasa pahit di lidah sepadan
dengan kesumat dada yang tak menghasilkan
Sementara Tuhan adalah
terdakwa paling sempurna di sisa pening
Bukti dedoa
yang ranggas meminta kuasa
pada akar paling asal
Takdir. Padahal dalam genggaman
hanya kesiur angin
Harapan menjadi siksa yang panjang,
sepanjang nafas dihela
Cerlang dituju,
bukit-bukit tandus ingatan menggeriap
Memantulkan redup cahaya penuntun
dengan kaki-kakinya yang lemah
Demikianlah hakikat ada itu berhembus dalam diri,
seperti cermin
Dan sajak tercipta dari kekalahan ribuan pagi
yang jatuh percuma
Seperti yanyian kaum jatuh
yang tak sanggup bangun dari kebodohan
dibungkam teriakannya sendiri
dalam rumah yang tak bertiang kokoh,
selain butir-butir bual sila
yang diundangkan di tengah sengkarut
Itulah masa lalu, amsal paling tangis itu
Seruan bebas yang tak pernah sempurna terlahir,
menggema sekali dulu sekali
Kembali juga getir ke diri yang bebal,
ke jantung satu yang sesak menampung segala perca
Keluh berjajar seperti isyarat
bait-bait panjang sesal yang tak usai
untuk terlahir tanpa guna bersama hewan-hewan yang luka
Ini bermula dari ingin berapi,
kata yang rapi mengenai tujuan hidup
Sedikit ilusi dan semua bergerak cepat, merayap cepat
Tubuh kian tua,
ingatan kian alpa menghitung sisa waktu
Penantian menjadi begitu membosankan
saat diri hanya berkawan bayang
Dan cinta yang paling sering dirampas,
seperti demokrasi basi rumah sendiri
Masa lalu mengajarkan tidak untuk,
memiliki adalah mimpi paling tinggi
Seperti rayuan sungai-sungai
yang ngalir di padang pasir
yang berkumpul dalam barisan ayat
agar wajah putus-asa masih berkiblat
pada harapan itu,
sungai-sungai ngalir yang dijanjikan itu
Tapi tidak untuk,
karena memiliki adalah mimpi paling bui
Jakarta, 30 Januari 2012
Memandangnya seperti pelita,
di antara gigir tualang dan aubade yang jauh
Masa lalu itu, romansa itu,
yang terhempas dan terrenggut
sedangkan peluk tak pernah sampai badan sendiri
Langkah kaki tak mengerti
tubuh ringkih tak kehendak selain tanah
Begitulah hidup menawarkan nasib liar
seperti arak bagi pemabuk
rasa pahit di lidah sepadan
dengan kesumat dada yang tak menghasilkan
Sementara Tuhan adalah
terdakwa paling sempurna di sisa pening
Bukti dedoa
yang ranggas meminta kuasa
pada akar paling asal
Takdir. Padahal dalam genggaman
hanya kesiur angin
Harapan menjadi siksa yang panjang,
sepanjang nafas dihela
Cerlang dituju,
bukit-bukit tandus ingatan menggeriap
Memantulkan redup cahaya penuntun
dengan kaki-kakinya yang lemah
Demikianlah hakikat ada itu berhembus dalam diri,
seperti cermin
Dan sajak tercipta dari kekalahan ribuan pagi
yang jatuh percuma
Seperti yanyian kaum jatuh
yang tak sanggup bangun dari kebodohan
dibungkam teriakannya sendiri
dalam rumah yang tak bertiang kokoh,
selain butir-butir bual sila
yang diundangkan di tengah sengkarut
Itulah masa lalu, amsal paling tangis itu
Seruan bebas yang tak pernah sempurna terlahir,
menggema sekali dulu sekali
Kembali juga getir ke diri yang bebal,
ke jantung satu yang sesak menampung segala perca
Keluh berjajar seperti isyarat
bait-bait panjang sesal yang tak usai
untuk terlahir tanpa guna bersama hewan-hewan yang luka
Ini bermula dari ingin berapi,
kata yang rapi mengenai tujuan hidup
Sedikit ilusi dan semua bergerak cepat, merayap cepat
Tubuh kian tua,
ingatan kian alpa menghitung sisa waktu
Penantian menjadi begitu membosankan
saat diri hanya berkawan bayang
Dan cinta yang paling sering dirampas,
seperti demokrasi basi rumah sendiri
Masa lalu mengajarkan tidak untuk,
memiliki adalah mimpi paling tinggi
Seperti rayuan sungai-sungai
yang ngalir di padang pasir
yang berkumpul dalam barisan ayat
agar wajah putus-asa masih berkiblat
pada harapan itu,
sungai-sungai ngalir yang dijanjikan itu
Tapi tidak untuk,
karena memiliki adalah mimpi paling bui
Jakarta, 30 Januari 2012