SERAPAH LIMASILA
: front garis keras
Kau tak ngerti kerna kau tak ada
Apa hendak kau kata?
Luka tetap bungkam
di liang pengap kuburan
Langit bertempik-sorak padamu
Tulang-belulang terlupakan
Padahal dulu saat tanah diperasi air mata
Jutaan kutuk angankan hidup
Kini setan-setan kau peram dalam ilusi
Cari dan cari
Demi dan demi
Ruh telah menyatu tanah,
melebur air
Ketika, wajah-wajah pucat
menggamit bendera lusuh
Disergap anyir nafas kematian
Kedaulatan retak berderak
Ketika
Azan ketakutan di surau-surau kayu
seperti lengkingan yatim
Memanggil-manggil nama ayahnya
Sayup menjelmakan bulan
Ketika, bumi gemetar
Gejolak tak bersanak
Sehabis pecah pagi baru
Tulang-belulang itu akan terus
Meratap
Kerna kau dan jalangmu
Mendekap
Tanah pembebasannya kian gemuruh
Menatap
Puing-puing, dulu dipersatukan mencerai nyawa
Mengharap
Negeri ini membikin matahari sebalas rodi
Tahun-tahun hantu telah berlalu
Pun ifrit tiga dasawarsa itu, tak
Cekam nian seumpama dulu
Tempat tenang masih ada guna bersujud
Tidak semisal tahun-tahun
mereka adalah binatang
Diburu bernafas atau membangkai
Dan di tanah hujan kini kau suka tanam
Kurma berduri
Asas dari negeri-negeri panas
Itu tangan hendak tarik bendera mana?
Kau bawa mimpi tak beda dulu
Manakala. “Priboemi dan andjing dilarang masuk!”
Padahal merdeka telah terpekik barisan senyum
Kerja tinggal kenyangkan perut
Menggagahi laut demi jalesviva jayamahe
Mereka ingin kau hidup untuk hidup
Bukan mati demi simbol-simbol laten di ludahmu
Di dada mereka Tuhan, jua milikmu
Beda kau bentuk Dia dengan kentut tekstual
Itu mainan kiramu, tak untuk mereka
Pecah ini biar bersatu
Ragam tumpah agar bertemu
Centang-perenang bisa terpadu
Tapi kau jadah, bukan anak Pertiwi!
: front garis keras
Kau tak ngerti kerna kau tak ada
Apa hendak kau kata?
Luka tetap bungkam
di liang pengap kuburan
Langit bertempik-sorak padamu
Tulang-belulang terlupakan
Padahal dulu saat tanah diperasi air mata
Jutaan kutuk angankan hidup
Kini setan-setan kau peram dalam ilusi
Cari dan cari
Demi dan demi
Ruh telah menyatu tanah,
melebur air
Ketika, wajah-wajah pucat
menggamit bendera lusuh
Disergap anyir nafas kematian
Kedaulatan retak berderak
Ketika
Azan ketakutan di surau-surau kayu
seperti lengkingan yatim
Memanggil-manggil nama ayahnya
Sayup menjelmakan bulan
Ketika, bumi gemetar
Gejolak tak bersanak
Sehabis pecah pagi baru
Tulang-belulang itu akan terus
Meratap
Kerna kau dan jalangmu
Mendekap
Tanah pembebasannya kian gemuruh
Menatap
Puing-puing, dulu dipersatukan mencerai nyawa
Mengharap
Negeri ini membikin matahari sebalas rodi
Tahun-tahun hantu telah berlalu
Pun ifrit tiga dasawarsa itu, tak
Cekam nian seumpama dulu
Tempat tenang masih ada guna bersujud
Tidak semisal tahun-tahun
mereka adalah binatang
Diburu bernafas atau membangkai
Dan di tanah hujan kini kau suka tanam
Kurma berduri
Asas dari negeri-negeri panas
Itu tangan hendak tarik bendera mana?
Kau bawa mimpi tak beda dulu
Manakala. “Priboemi dan andjing dilarang masuk!”
Padahal merdeka telah terpekik barisan senyum
Kerja tinggal kenyangkan perut
Menggagahi laut demi jalesviva jayamahe
Mereka ingin kau hidup untuk hidup
Bukan mati demi simbol-simbol laten di ludahmu
Di dada mereka Tuhan, jua milikmu
Beda kau bentuk Dia dengan kentut tekstual
Itu mainan kiramu, tak untuk mereka
Pecah ini biar bersatu
Ragam tumpah agar bertemu
Centang-perenang bisa terpadu
Tapi kau jadah, bukan anak Pertiwi!