PEREMPUAN YANG DIKORBANKAN
Kali terakhir dia memandang lelakinya
Hati selembar daun talas
seperti air gulir, begitulah cinta
Kata-kata adalah jilmaan rasa sakit
Ribuan perih yang bergemuruh menyesak
Maka tidak diucapkannya perpisahan itu
Tiada pula memberi air mata
Jalan tak lagi lapang, dia tahu itu
Harapan adalah bentuk lain dari siksaan
Sejak awal mula segala dipertaruhkan, begitulah lelaki
Harga diri adalah ketika selembar kain
masih menutup tubuh, kesucian harus dibuktikan
Di sini ratapan benar-benar milik perempuan
Sesudahnya pun yang didekap adalah kehilangan
Dengan pedih yang sesungguhnya
Saat yang lain menginginkan hadiah tubuhnya
Begitulah lelaki, haus tak terpadam
selain mengangkangi peperangan demi peperangan
Riwayat hamukti menumbuhkan
sekaligus merubuhkan selainnya
Dan kanak-kanak dibiarkan terlahir alpa
pada jati hidup untuk mencinta setulusnya
Tapi kesetiaan memang hanya ada sejauh ia diperlukan
gegurit tembang pujangga penghamba
Langit pengap. Jalan lengang
seolah hendak mengantarnya pada maut
Tak ada ruang padanya, bilik kepala penuh kecamuk
Siasat berpulang hampa menagih tumbal
Mayat tak bernama dalam setiap tikai adalah demi trah
Perempuan itu, dia sendiri dalam kutuk
melahirkan pengorban sia-sia
Dan inilah akhir itu
: dikorbankan kelahiran sebagai perempuan
Tapi sebelum itu dia menelisik lembar pesthi
Pada Wijaya yang berdiri setegak pokok kayu
Lelaki yang tak benar-benar berduka
Tak ada harapan untuk kembali memeluk
suatu kelak pun dalam sorot matanya
Kini seiring desir angin, langkah berserah pada keterlacuran
Dia Rajapatni, sendiri mengurai prasetya
Semisal Sita yang melompat ke dalam kobar nyala
Sedangkan Tuhan, entah sibuk berjudi dengan siapa
Jakarta, 07 Februari 2012
Kali terakhir dia memandang lelakinya
Hati selembar daun talas
seperti air gulir, begitulah cinta
Kata-kata adalah jilmaan rasa sakit
Ribuan perih yang bergemuruh menyesak
Maka tidak diucapkannya perpisahan itu
Tiada pula memberi air mata
Jalan tak lagi lapang, dia tahu itu
Harapan adalah bentuk lain dari siksaan
Sejak awal mula segala dipertaruhkan, begitulah lelaki
Harga diri adalah ketika selembar kain
masih menutup tubuh, kesucian harus dibuktikan
Di sini ratapan benar-benar milik perempuan
Sesudahnya pun yang didekap adalah kehilangan
Dengan pedih yang sesungguhnya
Saat yang lain menginginkan hadiah tubuhnya
Begitulah lelaki, haus tak terpadam
selain mengangkangi peperangan demi peperangan
Riwayat hamukti menumbuhkan
sekaligus merubuhkan selainnya
Dan kanak-kanak dibiarkan terlahir alpa
pada jati hidup untuk mencinta setulusnya
Tapi kesetiaan memang hanya ada sejauh ia diperlukan
gegurit tembang pujangga penghamba
Langit pengap. Jalan lengang
seolah hendak mengantarnya pada maut
Tak ada ruang padanya, bilik kepala penuh kecamuk
Siasat berpulang hampa menagih tumbal
Mayat tak bernama dalam setiap tikai adalah demi trah
Perempuan itu, dia sendiri dalam kutuk
melahirkan pengorban sia-sia
Dan inilah akhir itu
: dikorbankan kelahiran sebagai perempuan
Tapi sebelum itu dia menelisik lembar pesthi
Pada Wijaya yang berdiri setegak pokok kayu
Lelaki yang tak benar-benar berduka
Tak ada harapan untuk kembali memeluk
suatu kelak pun dalam sorot matanya
Kini seiring desir angin, langkah berserah pada keterlacuran
Dia Rajapatni, sendiri mengurai prasetya
Semisal Sita yang melompat ke dalam kobar nyala
Sedangkan Tuhan, entah sibuk berjudi dengan siapa
Jakarta, 07 Februari 2012