O Pulau Langu
“dan pada akhirnya kelak semua rindu kan terlengkapi”
hati gemetar menembus kabut, gelombang dari selatan mengguncang
di batas cakrawala pulau langu itu lah menunggu dalam samar
meringkuk serupa paus terdampar
ya puti, hari itu aku ranting nan jatuh ke lubuk waktu
kan hanyut datang padamu menyandang selipat setia segulung debar
meski usia usang dimamah samudera
hari itu kan kubiakkan bebunga karang melengkapi rindu nan genting
lalu kita kan bersampan bersama mengayuh sisa angan lama
“aku dan seperti teguh bebatu, dalam bubu terpancang,
pada terumbu pada biru, lah bertasbih dengan setia menunggumu, puan O”
sesobek sajak tak rampung itu terus mengimbau
tapi seekor camar menyambar aksara demi aksara tentang makna legenda
terserak di riak. nanah merabuk
luka lama kembali terkuak, tentang adam nan merasa sepi
merajuk pada angkasa yang tak punya jawab, sampai ketika pelangi
tiba lalu jelma hawa sembari berkata “akulah sebilah tulang rusukmu yang
terlepas dalam mimpi tadi malam, maka datanglah, raih, rengkuhlah”
O tahukah kau puti, di ufuk jernih bening itu telah kuselimutkan
segenap hasrat dan cinta dengan kabut dan ganas gelombang
hingga uap rinduku jelma hantu laut, agar kau tak didekati
dan itu abadi, walau jadi legenda renta jadi berhala
cinta tak berselat, rindu tak berkiblat
sampai ketika dari seberang tongkang-tongkang datang membawa lubang
mengokang meriam berisi petang, kau mengerang berubah jadi sengketa
nan tak dikehendaki, tak terelak
O telah ku daki gelombang, di kampung-kampung nelayan tempat
aku kau tinggalkan dalam diam dulu. kampung laut, hidup dalam arus
seperti rumah-rumah bajau itu mengapung laksana buih, dan kekanak
pantai berenang riang memutik ruam-ruam bagan jejak kenang
yang tercecar di riak masa lalu
hari ini lah kulengkapi semua rerindu dan langu pada biru
penyu, ikan-ikan, udang, teripang dan karang
dermaga lapuk, pada bubu, atau tiang pagu-pagu kobar waktu
rinduku berkibar segila angin laut, silam
hingga ketika matahari sore menyiram muka dan sebalur tubuh berlumutku
dengan warna jingga, yang pawana
tegun aku sungguh terpesona, tatap terpukau pulau begitu sempurna
dan lalu terkapar di bibir pantai dengan nafas tersengal
“O aku lah tuntaskan segenap rindu itu?”
Bumi Sepucuk Nipah Serumpun Nibung, Jambi; 19/10/11
“dan pada akhirnya kelak semua rindu kan terlengkapi”
hati gemetar menembus kabut, gelombang dari selatan mengguncang
di batas cakrawala pulau langu itu lah menunggu dalam samar
meringkuk serupa paus terdampar
ya puti, hari itu aku ranting nan jatuh ke lubuk waktu
kan hanyut datang padamu menyandang selipat setia segulung debar
meski usia usang dimamah samudera
hari itu kan kubiakkan bebunga karang melengkapi rindu nan genting
lalu kita kan bersampan bersama mengayuh sisa angan lama
“aku dan seperti teguh bebatu, dalam bubu terpancang,
pada terumbu pada biru, lah bertasbih dengan setia menunggumu, puan O”
sesobek sajak tak rampung itu terus mengimbau
tapi seekor camar menyambar aksara demi aksara tentang makna legenda
terserak di riak. nanah merabuk
luka lama kembali terkuak, tentang adam nan merasa sepi
merajuk pada angkasa yang tak punya jawab, sampai ketika pelangi
tiba lalu jelma hawa sembari berkata “akulah sebilah tulang rusukmu yang
terlepas dalam mimpi tadi malam, maka datanglah, raih, rengkuhlah”
O tahukah kau puti, di ufuk jernih bening itu telah kuselimutkan
segenap hasrat dan cinta dengan kabut dan ganas gelombang
hingga uap rinduku jelma hantu laut, agar kau tak didekati
dan itu abadi, walau jadi legenda renta jadi berhala
cinta tak berselat, rindu tak berkiblat
sampai ketika dari seberang tongkang-tongkang datang membawa lubang
mengokang meriam berisi petang, kau mengerang berubah jadi sengketa
nan tak dikehendaki, tak terelak
O telah ku daki gelombang, di kampung-kampung nelayan tempat
aku kau tinggalkan dalam diam dulu. kampung laut, hidup dalam arus
seperti rumah-rumah bajau itu mengapung laksana buih, dan kekanak
pantai berenang riang memutik ruam-ruam bagan jejak kenang
yang tercecar di riak masa lalu
hari ini lah kulengkapi semua rerindu dan langu pada biru
penyu, ikan-ikan, udang, teripang dan karang
dermaga lapuk, pada bubu, atau tiang pagu-pagu kobar waktu
rinduku berkibar segila angin laut, silam
hingga ketika matahari sore menyiram muka dan sebalur tubuh berlumutku
dengan warna jingga, yang pawana
tegun aku sungguh terpesona, tatap terpukau pulau begitu sempurna
dan lalu terkapar di bibir pantai dengan nafas tersengal
“O aku lah tuntaskan segenap rindu itu?”
Bumi Sepucuk Nipah Serumpun Nibung, Jambi; 19/10/11