anggap saja kita tidak pernah kenal, anggap tatapan lamunku adalah dongeng orang-orang seberang.dalam barisan sajadah itu kubisikkan gundah gulana di dinding paling dalam. cerita-cerita sawah-sawah, cerita si anak ladang, tak juga mengalahkan lagu-lagu bisu kerinduanku.
maka aku meragukan. semisal pelayaran daun yang kehilangan angin. nakhoda cemas merapal harapan. engkau tak ubahnya anak kecil yang gemar berceloteh, ibu ragu meninggalkanmu dalam buaian. dalam kerinduan.
bila kutatap langit mendungku, tetaplah langit mendung biru. gelap bukan berarti duka, terang bukan berarti ria. maka langit tidaklah tinggi, dan bumi tidaklah rendah. cukup aku tahu tinggi-rendahnya sesuatu yang menghantuiku adalah wajahmu. masih saja, kudendangkan tembang shalawat di kalbuku seperti dulu.
engkau, dan aku di antara barisan sajadah-sajadah itu yang menghampar lapang, bagai ketam yang berjalan dengan kesabaran. mengaji kerinduan.
Yogyakarta, 14 Maret 2012