O Bima; Bara di Musim Panen
puti, musim panen hampir tiba di gerbang desa
dan kita berhasrat mengurai bulan percintaan di atas bima
sebidang huma lama yang terjanjikan bagi
sepasang anak petani seperti kita
sampai ketika langit sontak rengkah meluahkan pepuing warna jingga
nan kelat dan kalut (anai-anai di jemarimu patah, serunai di bibirmu pecah)
O hari itu sabtu kelabu, aku ingat betul 2011 24 desember
semburat luka menganga, waktu berdentum
bebutir peluru berseberangan di udara, papas kekupu cinta kita
nan tengah belajar terbang
“lihat, pelabuhan sape lah jadi perapian sate” orang-orang berlarian
dengan histeris teriakan di antara kepulan asap dan benda terbakar
aroma anyir darah yang tertumpah menari bersama desis mesiu
menujah udara O
tiga nyawa melayang dalam sekejap, sayap cinta kita tercabik
bulan madu petani tersugu tajam peluru
puti, aku melihat dia tumbang bergenggaman tangan dengan bebayang
leladang lintang pukang, ketika semua berubah tambang
dan huma kita yang terjanjikan itu, kini sebujur bebatu dan
lubang peluru cuma
O dengarlah tingkah gendang kecimol itu, iramanya adalah kekalahan perang
negeri yang terunjang
menggadaikan langu yang masih mendengung digerbang timur
semasih usia mengaumkan doa gugusan pulau
luka bima terpuruk di ruang mata kelammu
dan asa kita puti, O cuma semalam sahaja di nusa itu
tersebab esok leladang akan runtuh, dan tanah segera terkoak
orang bermulut angin kan hisap segenap api dari dalamnya
lidahnya adalah desing peluru
wahai, di huma ini damai lah terbantai, dan musim panen
adalah selongsong duka jiwa yang tak ber-kebas
“ya, bima tanah tua nan membawa tanda bahwa tragedi berawal dari sini,
maka O bersiaplah barisan petani untuk menyongsong kabar
sungkawa hari-hari nan goyah”
aku lah melihat kalender merah tergayut di muka gapura udara gerah
musim panen nan senjang
dan kelak di akhir kata puti, sepenggal kisah cinta kita gagal
sebelum tanggalan mulai bergulir
Kota Tanah Pilih Pseko Batuah, Jambi; 24/12/11
puti, musim panen hampir tiba di gerbang desa
dan kita berhasrat mengurai bulan percintaan di atas bima
sebidang huma lama yang terjanjikan bagi
sepasang anak petani seperti kita
sampai ketika langit sontak rengkah meluahkan pepuing warna jingga
nan kelat dan kalut (anai-anai di jemarimu patah, serunai di bibirmu pecah)
O hari itu sabtu kelabu, aku ingat betul 2011 24 desember
semburat luka menganga, waktu berdentum
bebutir peluru berseberangan di udara, papas kekupu cinta kita
nan tengah belajar terbang
“lihat, pelabuhan sape lah jadi perapian sate” orang-orang berlarian
dengan histeris teriakan di antara kepulan asap dan benda terbakar
aroma anyir darah yang tertumpah menari bersama desis mesiu
menujah udara O
tiga nyawa melayang dalam sekejap, sayap cinta kita tercabik
bulan madu petani tersugu tajam peluru
puti, aku melihat dia tumbang bergenggaman tangan dengan bebayang
leladang lintang pukang, ketika semua berubah tambang
dan huma kita yang terjanjikan itu, kini sebujur bebatu dan
lubang peluru cuma
O dengarlah tingkah gendang kecimol itu, iramanya adalah kekalahan perang
negeri yang terunjang
menggadaikan langu yang masih mendengung digerbang timur
semasih usia mengaumkan doa gugusan pulau
luka bima terpuruk di ruang mata kelammu
dan asa kita puti, O cuma semalam sahaja di nusa itu
tersebab esok leladang akan runtuh, dan tanah segera terkoak
orang bermulut angin kan hisap segenap api dari dalamnya
lidahnya adalah desing peluru
wahai, di huma ini damai lah terbantai, dan musim panen
adalah selongsong duka jiwa yang tak ber-kebas
“ya, bima tanah tua nan membawa tanda bahwa tragedi berawal dari sini,
maka O bersiaplah barisan petani untuk menyongsong kabar
sungkawa hari-hari nan goyah”
aku lah melihat kalender merah tergayut di muka gapura udara gerah
musim panen nan senjang
dan kelak di akhir kata puti, sepenggal kisah cinta kita gagal
sebelum tanggalan mulai bergulir
Kota Tanah Pilih Pseko Batuah, Jambi; 24/12/11