~Untuk dikenang~
Dan lelaki sunyi itu terus berjalan. Tersungkur ia di sudut-sudut kerinduan. Tertusuk duri-duri kealpaan. Sepintas melintas sosok bayangan, mengiringi badan yang tiada henti melambungkan impian. Lalu temaram menutup pandangan. Terperangkap ia dalam kabut tipis mematikan ketika mentari menghilang, menitipkan cahaya pada elok paras rembulan.
Lantas bulan pun membilang. Mungkin ia tenggelam. Atau barangkali bersembunyi di antara himpitan gemintang. Mengintai wajah pertapa malam dari celah-celah kebisuan. Hingga akhirnya shubuh pun rubuh dalam pangkuan. Kembali ia berkumandang. Satu dua goresan ia tinggalkan, meski hanya untuk dikenang.
Purwokerto, 25 Oktober 2011
Dan lelaki sunyi itu terus berjalan. Tersungkur ia di sudut-sudut kerinduan. Tertusuk duri-duri kealpaan. Sepintas melintas sosok bayangan, mengiringi badan yang tiada henti melambungkan impian. Lalu temaram menutup pandangan. Terperangkap ia dalam kabut tipis mematikan ketika mentari menghilang, menitipkan cahaya pada elok paras rembulan.
Lantas bulan pun membilang. Mungkin ia tenggelam. Atau barangkali bersembunyi di antara himpitan gemintang. Mengintai wajah pertapa malam dari celah-celah kebisuan. Hingga akhirnya shubuh pun rubuh dalam pangkuan. Kembali ia berkumandang. Satu dua goresan ia tinggalkan, meski hanya untuk dikenang.
Purwokerto, 25 Oktober 2011