saat cinta memilih karena kesenjangan
seluas lautan ombak pantang mereda
di kedalamannya ada sebentuk cinta memenuhi palungpalung
pun angin iringkan layar biduk nelayan ketepian, senyum memecah sepi
camar berkeliaran mengejar buih, meniti pucukpucuk putih
matahari berkacakaca, hujan menyentak ingin yang tertunda
petir gosongkan hati yang kepalang luka
hangus menjadi abu yang sirna luruh, ruh terkatungkatung
pada seonggok bangkai yang lama terurai
mengapung di pojok karang, menjurai
pada dermaga rapuh tertelungkup menutup sembilu
hawa anyir lumuri tubuh janinjanin
marah!
pada bara saga garangkan muka
api pada batu membakar duka
tanah merekahkan lava di sela kepundan
saat mimpi buruk merajut ramarama di kelindan
membusukkan daging hingga berlendir mengundang anaianai berpesta pora
pada biduk merapuh terantuk karang
buyarkan anak nelayan berangan umbarkan syair
saat tersiar dari mercusuar memandu tongkangtongkang
kandas, berabadabad luka masih memar,
leleh tercemar
latung menyelimuti seluruh samudra, hitam pekat
camar, bermandi lumpur
beranganpun tak sempat, terkulai rindu terbang
rembulan berjelaga, terbakar matahari
dan bukan pula gerhana, tertelan matahari
bintang mulai rontok di pematang
menjelma kunangkunang, gemuruhkan nyanyian
cinta menemukan kembali jalan tertunda
menyisakan isak yang terpenggal, meraup dari cawan emas
mimpi hanya firasat tak tuntas, tapi bukan penafian
ingin bersyair doa di multazam,
saat saadin menyodorkan kunci pintu ka’bah, aku berdiam
sebutir zarrah di keluasan semesta saat di dalamnya
cinta lebih memilih karena kesenjangan
membentang jarak dan berfatwa lugas
telusuri lagi saat berlarian di safa dan marwah
dalam kucuran keringat dan air mata darah bersemayam di arafah,
lalu,
saat camar terasing di jati dirinya
laut tak leluasa dicumbui sejak Poseidon menjaganya
dan camarpun mengadu kepada Khalikul Bahri dalam doanya
mengharap ada episod yang sama seperti di arafah
Mahbub Junaedi
Bumiayu, Sabtu, 22 Oktober 2011, 00:03
seluas lautan ombak pantang mereda
di kedalamannya ada sebentuk cinta memenuhi palungpalung
pun angin iringkan layar biduk nelayan ketepian, senyum memecah sepi
camar berkeliaran mengejar buih, meniti pucukpucuk putih
matahari berkacakaca, hujan menyentak ingin yang tertunda
petir gosongkan hati yang kepalang luka
hangus menjadi abu yang sirna luruh, ruh terkatungkatung
pada seonggok bangkai yang lama terurai
mengapung di pojok karang, menjurai
pada dermaga rapuh tertelungkup menutup sembilu
hawa anyir lumuri tubuh janinjanin
marah!
pada bara saga garangkan muka
api pada batu membakar duka
tanah merekahkan lava di sela kepundan
saat mimpi buruk merajut ramarama di kelindan
membusukkan daging hingga berlendir mengundang anaianai berpesta pora
pada biduk merapuh terantuk karang
buyarkan anak nelayan berangan umbarkan syair
saat tersiar dari mercusuar memandu tongkangtongkang
kandas, berabadabad luka masih memar,
leleh tercemar
latung menyelimuti seluruh samudra, hitam pekat
camar, bermandi lumpur
beranganpun tak sempat, terkulai rindu terbang
rembulan berjelaga, terbakar matahari
dan bukan pula gerhana, tertelan matahari
bintang mulai rontok di pematang
menjelma kunangkunang, gemuruhkan nyanyian
cinta menemukan kembali jalan tertunda
menyisakan isak yang terpenggal, meraup dari cawan emas
mimpi hanya firasat tak tuntas, tapi bukan penafian
ingin bersyair doa di multazam,
saat saadin menyodorkan kunci pintu ka’bah, aku berdiam
sebutir zarrah di keluasan semesta saat di dalamnya
cinta lebih memilih karena kesenjangan
membentang jarak dan berfatwa lugas
telusuri lagi saat berlarian di safa dan marwah
dalam kucuran keringat dan air mata darah bersemayam di arafah,
lalu,
saat camar terasing di jati dirinya
laut tak leluasa dicumbui sejak Poseidon menjaganya
dan camarpun mengadu kepada Khalikul Bahri dalam doanya
mengharap ada episod yang sama seperti di arafah
Mahbub Junaedi
Bumiayu, Sabtu, 22 Oktober 2011, 00:03