Di lobi hotel, lampu-lampu gantung, tak kalah
cemerlang bintang-bintang, ketawa mereka
menyaksikan Descartes mengundang sahabat-
sahabatnya, Leibniz dan Locke buat
minum anggur di satu meja.
“Bagaimana kabar matematika?” tanya Leibniz.
“Sedang demam, panas-dingin. Kemarin
kubawa ia ke dokter. Di ruang tunggu pasien,
aku ketemu fisika juga, lagi batuk-batuk ia.”
jawab Descartes.
Ketawa juga Locke, “Kubilang juga apa!
Sudah, kasih antibiotik saja! Parasetamol?”
Pramusaji datang membawa sebuah piring besar,
ditaruhnya di tengah meja, menghabiskan lahan.
“Apa ini, besar sekali?” tanya Descartes.
“Maha besar, tuan-tuan…” jawab si pramusaji.
“Kami tidak mungkin menghabiskan semua ini,”
timpal Locke.
“Tidak bakal habis, tuan. Bukalah, kalian bakal tahu
juga apa yang kalian tidak tahu sebenarnya,”
ucap si pramusaji sambil menunduk.
Locke membuka tudung hidangan, membikin
Leibniz dan Descartes terkejut berserempak:
“Hei, apa itu?”
“Bukan itu dan ini, adalah Tuhan, yang didalamnya
ini dan itu ada beserta, yang membikin
matematika dan fisika, bahkan Ia bikin juga
geometri yang kudus bagi kalian!”
“Siapa kamu? Orang Prancis bukan?”
kentara suara Descartes gemetar.
“Pascal… Blaise Pascal, orang yang
gemar matematika juga seperti anda sekalian.”
berbalik ia, jalan dan menghilang.
Di meja, tiga orang itu kebingungan, tampak
bloon dan bego serupa orang bodoh pandir.
Diliriknya botol beserta gelas anggur
yang telah tandas, telah kosong seluruh
isinya. “Mabukkah kita?” ujar Descartes.
“Engkau? Mabukkah engkau?” Leibniz
masih dihimpit pukau.
“Oh, baguslah, kita mabuk!” Descartes terbahak
ketawa, menutup lagi tempurung ke piring
besar hidangan sambil gemetar tangannya.
Ia pesan lagi sebotol anggur, “Oh, matematika…”
(22/1/2012)