NOCTURNO PADA SEPEDA
Entah kenapa, mata air itu tumpah
Setelah dua tiga kali perih dikalikan tak terhingga
Hanya ingin menjadi lorong di samping kelas kosong
lalu angin lalu hujan, gerimis itu sendiri.
Riuh tawa menyusuri beranda
tangantangan bergandengan
janjijanji berkejaran
lalu angin lalu hujan, mengusung keranda.
Masih mengembun derai rambutmu
mengurai melati di wajahku
kemudian tawa menatap deretan sepeda
:"Ini Kansai, kenapa mereka mengayuhnya?"
Kubilang saja aku enggan menganggapmu rumah
sebab kau membonceng sepeda,
merangkai jemari di dada
: "Ini pinggangku,
seruni untuk matahari dan senyum
rembulan, hanya di wajahmu".
Air mata air,
menjelma sederetan angka. Penuh luka
pada hujan, pada angin, kepada sunyi,
aku sendiri menatap keranda.
(Lindu, 2007)
Entah kenapa, mata air itu tumpah
Setelah dua tiga kali perih dikalikan tak terhingga
Hanya ingin menjadi lorong di samping kelas kosong
lalu angin lalu hujan, gerimis itu sendiri.
Riuh tawa menyusuri beranda
tangantangan bergandengan
janjijanji berkejaran
lalu angin lalu hujan, mengusung keranda.
Masih mengembun derai rambutmu
mengurai melati di wajahku
kemudian tawa menatap deretan sepeda
:"Ini Kansai, kenapa mereka mengayuhnya?"
Kubilang saja aku enggan menganggapmu rumah
sebab kau membonceng sepeda,
merangkai jemari di dada
: "Ini pinggangku,
seruni untuk matahari dan senyum
rembulan, hanya di wajahmu".
Air mata air,
menjelma sederetan angka. Penuh luka
pada hujan, pada angin, kepada sunyi,
aku sendiri menatap keranda.
(Lindu, 2007)