sebuah masa dimana aku telah tiada dan memilih membenamkan mataku dalam jurang sedalam matamu, saat hujan bernyayi dan mengetuk ngetuk sol sepatunya di jalanan di malam ini, kulihat kau bangkit menyaingi keningku, kau selalu bisa membaca, kalau bulu kenang ini dipenuhi gulma sejak sepercik air dari mata yang kau biarkan pecah, mampu menghidupi ingatan menemuimu melalui ratusan tanah yang dihujani kemarau dan meluas seluas kelapangan yang begitu langit di atas sana.
kau kemudian mengambil hatiku menuliskan lagi sebuah puisi tentang pegunungan yang cemas memandang danau yang tumbuh tenang di bawahnya. di malam saat mikail turun meniupkan sangkakala pertemuanku denganmu. kau sebut ada semacam kafilah yang membuat rakit dari lautan meyebrangi sungai selebar semesta rahasia yang kau titipkan buatku.katamu lagi lam dan mim telah menjelma bidadari, alifku.
aku tersedan di timbang kemungkinan perpisahan yang kau kuasakan.aku terperih oleh sebuah senyuman bahwa tak ada yang setara dalam penyesalan saat kau memisahkanku darimu. kata kata kulihat memetik sebuah senar kerinduan. ketiadaan dibalik selaput mata dalam pikiranku yang melata. menemui berjuta kematian yang tak kau biarkan bertemu denganmu sejenak saja. kau katakan melalui angin yang pulang pergi menemui kekosongan dalam nafasku. bahwa kecemasan adalah nama lain dari cintamu yang kau tanam diam diam sebelum adamku di rangkai dan di persaksikan.
adakah yang perlu di sesalkan bila kegarangan yang begitu ombak memukul tebing tebing ini, suara suara samar tentang namamu menghidupi penantianku. menghidupi penantianku yang jauh sebelum masa masa silam menemui angka angka penanggalan.
kau yang disana yang lagi memetik air mataku di kebun ini. katakanlah dengan kejujuran usia kanak kanak kita. bahwa aku pernah menyintainya. dan remah remah sisanya tetap tersiar meski kehadiranku adalah sebuah nama yang mungkin dilupakan.
yang mungkin dilupakan.
.2012