ra, sudahkah kaumemetik hari? di sini, pagi bergemerincing denting. mentari merekah di birunya langit menumbuhkan renjana rindu pada bening telagamu. ah, ra, sepertinya aku telah gila. setelah pertemuan kita di rindang pohon itu. ia selalu menari-nari di benakku.
ahai, apakah kautelah mencampurkan candu pada minumanku, ra? betapa kuingin mereguknya kembali, bersamamu. tentang riuhnya celoteh para bayi.
embun masih mencicip di pucuk daun. aku bersiap menemuimu di rindang pohon, itu lagi. hai, engkau tak melupa janji kita kan, ra? hingga, derap jejak langkahku-mu kan menjadi saksi di senja hari nanti.
namun, sepi. bangku-bangku batu membisu. mereka tak hendak mengabariku kenapa engkau tak memetik hari. aroma kehadiranmu pun tiada kutemui, meski angin masih setia mempermainkan dedaun yang merimbun, juga rumput liar yang membelai sepatu putihku. tak jua kumenemu.
“daun yang jatuh tak pernah membenci angin”
oo, kitakah daun-daun yang diterbangkan angin itu, ra? tumbuh-berkembang, melayang-jatuh, kering-lapuk lalu menghumus: sesiklus kehidupan itu?
tidak, ra, kita punya jiwa. menari-nari pada titian hari. meski tiada benci pada angin yang selalu menerbangkan dedaun rindu itu. karena: pada Ilahi kita kembali.
untuk, ra, puisiku
kembalilah melaju, petiklah hari yang memuisi hingga senja nanti.
Plumpang, 20 Maret 2013